HUKUM
MENGGUNAKAN OBAT PENAHAN HAID
PENGERTIAN HAID
Haid
secara harfiyah berarti mengalir. Sedang menurut istilah fiqh, haid berarti
menstruasi yaitu darah yang keluar dari vagina dalam keadaan sehat, bukan
karena melahirkan, penyakit atau pecahnya selaput dara. Haid menjadi tanda
bahwa seorang gadis telah mencapai usia baligh yang mengakibatkannya terkena hukum-hukum
taklif.
Kebanyakan
para ulama mengatakan bahwa haid di mulai ketika seorang gadis berumur 9 tahun.
Menurut mereka, darah yang keluar sebelum usia itu bukan haid, melainkan darah
penyakit atau darah yang disebabkan oleh kerusakan pada organ tertentu. Tidak
ada dalil yang membatasi berakhirnya haid pada usia tertentu, ada kalanya haid
berlangsung sampai usia tua.
Mengenai
batas maksimal dan minimal masa haid, diantara para ulama tidak terdapat
kesepakatan karena tidak adanya hujjah yang pasti tentang hal itu. Imam Syafi’I
dan Imam Maliki memperkirakan batas maksimal masa haid adalah 15 hari,
sedangkan Imam Abu Hanifah memperkirakan 10 hari, demikian pula halnya mengenai
batas minimal masa haid. Menurut Imam Malik, tidak ada batas minimal karena
darah yang keluar seketikapun bisa dipandang haid. Sementara itu Imam Syafi’I
memperkirakan batas minimal masa haid adalah sehari semalam, sedangkan Imam Abu
Hanifah memperkirakannya sekitar 3 hari. Semua perkiraan tersebut didasarkan
atas penelitian meraka terhadap sejumlah wanita.
Sehubungan
dengan itu, ada ulama yang memberlakukan kebiasaan sebagai batas maksimal masa
haid. Rasulallah bersabda : “Suruh dia memperhatikan (hitungan) berapa malam
dan hari kebiasaan dia haid dalam sebulan, maka (ketika itu) suruh dia
meninggalkan shalat. Kemudian suruh dia mandi dan meletakkan robekan kain pada
fajarnya, lalu laksana kuniah” (HR. Khamsah dan At-Tirmidz). Apabila tidak ada
kebiasaan, maka untuk mengetahui apakah sedang dalam keadaan haid atau tidak
hendaknya seorang wanita memperhitungkan cirri-ciri tertentu pada waktu akan
dan setelah datang haid.
Para ulama telah
sepakat tidak menentukan batas minimal dan maksimal masa suci antara dua masa
haid. Namun dalam menentukan batas minimalnya, para ulama berbeda pendapat. Hal
ini disebabkan oleh tidak adanya dalil yang memastikan batas maksimal dan
minimal masa haid tersebut.
HUKUM PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH HAID
Di
zaman modern ini, dunia mengeluarkan obat untuk menahan keluarnya haid,
sehingga wanita itu bisa mengerjakan ibadah haji dan ibadah puasa Ramadhan
secara sempurna tanpa harus mengqaho’nya. Dalam hal ini, Syaikh Mar’I bin Yusuf al-Maqdisi dan Yusuf
Al-Qardawi tokoh fiqh kontenporer berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan
puasa dan hajinya tidak sempurna, maka ia boleh untuk menunda haidnya. Alasan
mereka adalah karena wanita itu sulit untuk mengqadla’ puasanya pada hari yang
lain. Sedangkan larangan untuk penundan haid itu tidak ada sama sekali dalam
nash.
Sementara
itu MUI dalam sidang komisi fatwanya pada tahun 1984 menetapkan bahwa untuk
kesempurnaan dan kekhusyu’an seorang wanita dalam melaksanakan ibadah, maka :
-
Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan
haji itu hukumnya adalah boleh.
-
Penggunaan pil anti haid dengan maksud
agar dapat menyempurnakan puasa ramadhan sebulan penuh, pada dasrnya hukumnya
makhruh. Tapi bagi wanita yang mengalami kesulitan untuk mengganti puasanya
yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah boleh.
Penggunaan
pil anti haid selain dari dua ibadah tersebut itu tergantung niatnya. Apabila
untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hokum agama, maka hukumnya
haram. Hukum penggunaan obat perangsang haid seperti halnya pencegah/penundaan,
obat perangsang haid juga diperbolehkan untuk digunakan, tetapi dengan dua
syarat :
-
Pemakai tidak punya rencana negative
bahwa dengan menggunakan alat tersebut ia akan terhindar dari kewajibannya.
Misalnya seorang wanita menggunakan alat ini saat menjelang ramadhan dengan
tujuan agar bulan ramadhan tersebut ia tidak berpuasa dan tidak shalat.
-
Harus izin dengan suami bagi yang sudah
bersuami.
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HOKUM
MEMINUM OBAT ANTI HAID
Ulama
era klasik seperti Ibnu Qudhamah al-Hanbali, Al-Hathaab al-Maliki, dan Al-Ramly
al-Syafi’I, tidak mempermasalhkan seorang wanita yang meminum obat-obatan
anti/penunda haid. Dengan kata lain, para ulama tersebut menetapkan hokum
tentang hal itu dengan mubah. Begitu pula Ibnu Taymiyah, beliau juga
memperbolehkan wanita menahan keluarnya haid agar dapat menyempurnakan puasa
Ramadhan. Sedikit berbeda, Al-Juwaini dalam Qurratu Al-‘Ain merinci menggunakan
obat penunda haid ada dua macam, yaitu : Makhruh apabila bertujuan untuk
mencegah datangnya darah haid atau menyedikitkan darah haid. Kemudian haram
ketika bertujuan untuk mencegah kelahiran. Dengan demikian, menunda haid untuk
menyempurnakan puasa menurut perspektif al-Juwaini berarti makhruh.
Sedangkan
pada era modern saat ini, dalam konteks Indonesia, pendapat yang layak
dikemukakan paling awal adalah fatwa MUI. Sidang komisi fatwa MUI tanggal 12
januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid itu mubah bagi
wanita yang sukar mengqadha puasa Ramadhan pada hari lain, serta makhruh jika
untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, namun dapat mengqadha pada hari lain tanpa
kesulitan. Pendapat dan fatwa dari para ulama’ serta lembaga otoritatif lain di
Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah belum dapat ditelusuri. Meski demikian,
karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan problema umum umat Islam.
Maka di tingkat lokalpun ternyata sebagian ulama telah merespon problematika
tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum bahtsul Masail Diniyyah di
Yayasan As-Salam, bandung yang membahas persoalan tersebut. Forum itu
merumuskan kesimpulan untuk diperbolehkannya penggunaan pil atau obat pencegah
haid agar dapat menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya selama tidak
menimbulkan efek bagi kesehatan si pengguna. Meski pendapat tersebut bukan
berasal dari ulama otoritatif, namun forum tersebut dapat memberikan gambaran
mengenai cara pandang ulama local mengenai persoalan fiqh kontenporer. KH.
Tajuddin Subki misalnya, dalam forum tersebut mengqiyaskan kebolehan
menggunakan obat penunda haid dalam bulan Ramadhan sama dengan kebolehan
menggunakannya dalam ibadah haji. Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad
mengatakan, hokum awal pemakaian obat-obatan penunda haid dalam Islam tidak
diperbolehkan. Menurutnya pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan
ketentuan yang telah digariskan Allah. Namun, hokum tersebut menjadi mubah
karena adanya pertimbangan yang bersifat manusiawi. Kesimpulan-kesimpulan
tersebut didasarkan pada hadits Nabi:
Pertama,
pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah wanita yang sedang
melakukan satu bentuk rukhshah
(keringanan), sedang Nabi bersabda : “sesungguhnya Allah menyukai untuk
dilakukan rukhshahnya sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan ‘azimahnya
(beban moral). (HR. Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi berkata : perawinya
perawi hadits shahih)”.
Kedua,
Rasulalah juga bersabda : “Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di
bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka
tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia betul-betul
melakukannya”(HR. Abu Dawud).
Ketiga,
terdapat hadits yang pengertian dzahirnya mengindikasikan bahwa tidak sholatnya
wanita akibat udzur dan tidak puasanya wanita, mesti di qhada’ karna adalah
bagian dari kekurangan wanita dalam beragama. “Bukalah jika sedang haid dia
tidak shalat dan berpuasa ? “benar” demikianlah bentuk kekurangan Agamanya”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan
berdasarkan atas hadits tersebut, Hidayatullah menandaskan istilah “kekurangan
Agama” dalam hadits tersebut bukan dipahami dari segi kualitas akibat udzur
yang memang sudah menjadi taqdir penciptaannya melainkan pada kuantitas
pelaksanaan agama yang tidak berhubungan langsung dengan cacatnya kualitas
agama wanita yang bersangkutan.
Sedangkan
ulama Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan
penggunaan pil pencegah haid tersebut diperbolehkan, namun dengan dua syarat
yaitu tidak membahayakan kesehatan dan harus izin dengan suaminya. Meski
demikian, Utsaimin mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita merupakan hal
alamiah yang apabila dicegah akan memberikan efek samping bagi tubuh wanita
tersebut. Ibnu Utsaimin mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan membuat
wanita lupa terhadap masa haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu dalam
mengerjakan shalat dan berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa dirinya
tidak mengatakan penggunaan pil tersebut haram, tetapi ia tidak senang kaum
wanita menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinannya madharat yang
menimpanya.
Ibnu
Utsaimin juga menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau menjumpai
Aisyah menangis setelah berikhram untuk umrah. Nabi bertanya : Ada apa
denganmu, barangkali engkau sedang haid? Aisyah menjawab : “ya”, lalu beliau
bersabda : “ini sesuatu yang telah di tulis oleh Allah untuk anak-anak
perempuan Adam”. Dengan mengutip hadits tersebut, Ibnu Utsaimin menganjurkan
wanita untuk bersabar jika tertimpa haid. Sebab itu merupakan ketentuan Allah
yang bersifat alamiah. Dengan kata lain, menurutnya penggunaan obat obat tersebut
adalah makhruh.
Syaikh Mutawaali
al-Sya’rawi mengatakan bahwa : wanita yang melakukan itu berarti telah menolak
rukhshah (keringanan hokum) yang duberikan oleh Allah kepadanya selain itu.
Meminum obat pencegah haid menurutnya dapat merusak metabolism tubuh manusia.
Perbuatan itu harus dihindari wanita muslim, khususnya puasa Ramadhan yang
telah lewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah dalam
nash yang jelas. Sebagian ulama’ berpengaruh di Saudi, pendapat al-Sya’rawi dan
terutama Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama’ Saudi
Arabia sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pun senada, bahwa
wanita boleh meminum obat-obatan untuk mencegah datangnya haid dengan syarat
dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar-pakar medis dan dokter bahwa hal
itu tidak membahayakan kesehatan atau organ reproduksinya. Namun sebaliknya,
hal itu dihindari karena Allah telah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa
kepada wanita yang sedang haid dan menggantinya pada hai-hai lain. Hal itu
lebih sesuai dengan ajaran Islam dan tidak beresiko bagi kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar