Jumat, 25 November 2011

Hukum menggunakan obat penahan haid


HUKUM MENGGUNAKAN OBAT PENAHAN HAID
PENGERTIAN HAID
Haid secara harfiyah berarti mengalir. Sedang menurut istilah fiqh, haid berarti menstruasi yaitu darah yang keluar dari vagina dalam keadaan sehat, bukan karena melahirkan, penyakit atau pecahnya selaput dara. Haid menjadi tanda bahwa seorang gadis telah mencapai usia baligh yang mengakibatkannya terkena hukum-hukum taklif.
Kebanyakan para ulama mengatakan bahwa haid di mulai ketika seorang gadis berumur 9 tahun. Menurut mereka, darah yang keluar sebelum usia itu bukan haid, melainkan darah penyakit atau darah yang disebabkan oleh kerusakan pada organ tertentu. Tidak ada dalil yang membatasi berakhirnya haid pada usia tertentu, ada kalanya haid berlangsung sampai usia tua.
Mengenai batas maksimal dan minimal masa haid, diantara para ulama tidak terdapat kesepakatan karena tidak adanya hujjah yang pasti tentang hal itu. Imam Syafi’I dan Imam Maliki memperkirakan batas maksimal masa haid adalah 15 hari, sedangkan Imam Abu Hanifah memperkirakan 10 hari, demikian pula halnya mengenai batas minimal masa haid. Menurut Imam Malik, tidak ada batas minimal karena darah yang keluar seketikapun bisa dipandang haid. Sementara itu Imam Syafi’I memperkirakan batas minimal masa haid adalah sehari semalam, sedangkan Imam Abu Hanifah memperkirakannya sekitar 3 hari. Semua perkiraan tersebut didasarkan atas penelitian meraka terhadap sejumlah wanita.
Sehubungan dengan itu, ada ulama yang memberlakukan kebiasaan sebagai batas maksimal masa haid. Rasulallah bersabda : “Suruh dia memperhatikan (hitungan) berapa malam dan hari kebiasaan dia haid dalam sebulan, maka (ketika itu) suruh dia meninggalkan shalat. Kemudian suruh dia mandi dan meletakkan robekan kain pada fajarnya, lalu laksana kuniah” (HR. Khamsah dan At-Tirmidz). Apabila tidak ada kebiasaan, maka untuk mengetahui apakah sedang dalam keadaan haid atau tidak hendaknya seorang wanita memperhitungkan cirri-ciri tertentu pada waktu akan dan setelah datang haid.
Para ulama telah sepakat tidak menentukan batas minimal dan maksimal masa suci antara dua masa haid. Namun dalam menentukan batas minimalnya, para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dalil yang memastikan batas maksimal dan minimal masa haid tersebut.
HUKUM PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH HAID
Di zaman modern ini, dunia mengeluarkan obat untuk menahan keluarnya haid, sehingga wanita itu bisa mengerjakan ibadah haji dan ibadah puasa Ramadhan secara sempurna tanpa harus mengqaho’nya. Dalam hal ini, Syaikh  Mar’I bin Yusuf al-Maqdisi dan Yusuf Al-Qardawi tokoh fiqh kontenporer berpendapat bahwa wanita yang mengkhawatirkan puasa dan hajinya tidak sempurna, maka ia boleh untuk menunda haidnya. Alasan mereka adalah karena wanita itu sulit untuk mengqadla’ puasanya pada hari yang lain. Sedangkan larangan untuk penundan haid itu tidak ada sama sekali dalam nash.
Sementara itu MUI dalam sidang komisi fatwanya pada tahun 1984 menetapkan bahwa untuk kesempurnaan dan kekhusyu’an seorang wanita dalam melaksanakan ibadah, maka :
-          Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan haji itu hukumnya adalah boleh.
-          Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat menyempurnakan puasa ramadhan sebulan penuh, pada dasrnya hukumnya makhruh. Tapi bagi wanita yang mengalami kesulitan untuk mengganti puasanya yang tertinggal di hari lain, maka hukumnya adalah boleh.
Penggunaan pil anti haid selain dari dua ibadah tersebut itu tergantung niatnya. Apabila untuk perbuatan yang menjurus pada pelanggaran hokum agama, maka hukumnya haram. Hukum penggunaan obat perangsang haid seperti halnya pencegah/penundaan, obat perangsang haid juga diperbolehkan untuk digunakan, tetapi dengan dua syarat :
-          Pemakai tidak punya rencana negative bahwa dengan menggunakan alat tersebut ia akan terhindar dari kewajibannya. Misalnya seorang wanita menggunakan alat ini saat menjelang ramadhan dengan tujuan agar bulan ramadhan tersebut ia tidak berpuasa dan tidak shalat.
-          Harus izin dengan suami bagi yang sudah bersuami.

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HOKUM MEMINUM OBAT ANTI HAID
Ulama era klasik seperti Ibnu Qudhamah al-Hanbali, Al-Hathaab al-Maliki, dan Al-Ramly al-Syafi’I, tidak mempermasalhkan seorang wanita yang meminum obat-obatan anti/penunda haid. Dengan kata lain, para ulama tersebut menetapkan hokum tentang hal itu dengan mubah. Begitu pula Ibnu Taymiyah, beliau juga memperbolehkan wanita menahan keluarnya haid agar dapat menyempurnakan puasa Ramadhan. Sedikit berbeda, Al-Juwaini dalam Qurratu Al-‘Ain merinci menggunakan obat penunda haid ada dua macam, yaitu : Makhruh apabila bertujuan untuk mencegah datangnya darah haid atau menyedikitkan darah haid. Kemudian haram ketika bertujuan untuk mencegah kelahiran. Dengan demikian, menunda haid untuk menyempurnakan puasa menurut perspektif al-Juwaini berarti makhruh.
Sedangkan pada era modern saat ini, dalam konteks Indonesia, pendapat yang layak dikemukakan paling awal adalah fatwa MUI. Sidang komisi fatwa MUI tanggal 12 januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid itu mubah bagi wanita yang sukar mengqadha puasa Ramadhan pada hari lain, serta makhruh jika untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, namun dapat mengqadha pada hari lain tanpa kesulitan. Pendapat dan fatwa dari para ulama’ serta lembaga otoritatif lain di Indonesia seperti NU dan Muhamadiyah belum dapat ditelusuri. Meski demikian, karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan problema umum umat Islam. Maka di tingkat lokalpun ternyata sebagian ulama telah merespon problematika tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum bahtsul Masail Diniyyah di Yayasan As-Salam, bandung yang membahas persoalan tersebut. Forum itu merumuskan kesimpulan untuk diperbolehkannya penggunaan pil atau obat pencegah haid agar dapat menjalankan ibadah puasa dan ibadah lainnya selama tidak menimbulkan efek bagi kesehatan si pengguna. Meski pendapat tersebut bukan berasal dari ulama otoritatif, namun forum tersebut dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang ulama local mengenai persoalan fiqh kontenporer. KH. Tajuddin Subki misalnya, dalam forum tersebut mengqiyaskan kebolehan menggunakan obat penunda haid dalam bulan Ramadhan sama dengan kebolehan menggunakannya dalam ibadah haji. Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad mengatakan, hokum awal pemakaian obat-obatan penunda haid dalam Islam tidak diperbolehkan. Menurutnya pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan ketentuan yang telah digariskan Allah. Namun, hokum tersebut menjadi mubah karena adanya pertimbangan yang bersifat manusiawi. Kesimpulan-kesimpulan tersebut didasarkan pada hadits Nabi:
Pertama, pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah wanita yang sedang melakukan satu bentuk  rukhshah (keringanan), sedang Nabi bersabda : “sesungguhnya Allah menyukai untuk dilakukan rukhshahnya sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan ‘azimahnya (beban moral). (HR. Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi berkata : perawinya perawi hadits shahih)”.
Kedua, Rasulalah juga bersabda : “Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia betul-betul melakukannya”(HR. Abu Dawud).
Ketiga, terdapat hadits yang pengertian dzahirnya mengindikasikan bahwa tidak sholatnya wanita akibat udzur dan tidak puasanya wanita, mesti di qhada’ karna adalah bagian dari kekurangan wanita dalam beragama. “Bukalah jika sedang haid dia tidak shalat dan berpuasa ? “benar” demikianlah bentuk kekurangan Agamanya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan berdasarkan atas hadits tersebut, Hidayatullah menandaskan istilah “kekurangan Agama” dalam hadits tersebut bukan dipahami dari segi kualitas akibat udzur yang memang sudah menjadi taqdir penciptaannya melainkan pada kuantitas pelaksanaan agama yang tidak berhubungan langsung dengan cacatnya kualitas agama wanita yang bersangkutan.
Sedangkan ulama Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan penggunaan pil pencegah haid tersebut diperbolehkan, namun dengan dua syarat yaitu tidak membahayakan kesehatan dan harus izin dengan suaminya. Meski demikian, Utsaimin mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita merupakan hal alamiah yang apabila dicegah akan memberikan efek samping bagi tubuh wanita tersebut. Ibnu Utsaimin mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan membuat wanita lupa terhadap masa haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu dalam mengerjakan shalat dan berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa dirinya tidak mengatakan penggunaan pil tersebut haram, tetapi ia tidak senang kaum wanita menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinannya madharat yang menimpanya.
Ibnu Utsaimin juga menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau menjumpai Aisyah menangis setelah berikhram untuk umrah. Nabi bertanya : Ada apa denganmu, barangkali engkau sedang haid? Aisyah menjawab : “ya”, lalu beliau bersabda : “ini sesuatu yang telah di tulis oleh Allah untuk anak-anak perempuan Adam”. Dengan mengutip hadits tersebut, Ibnu Utsaimin menganjurkan wanita untuk bersabar jika tertimpa haid. Sebab itu merupakan ketentuan Allah yang bersifat alamiah. Dengan kata lain, menurutnya penggunaan obat obat tersebut adalah makhruh.
Syaikh Mutawaali al-Sya’rawi mengatakan bahwa : wanita yang melakukan itu berarti telah menolak rukhshah (keringanan hokum) yang duberikan oleh Allah kepadanya selain itu. Meminum obat pencegah haid menurutnya dapat merusak metabolism tubuh manusia. Perbuatan itu harus dihindari wanita muslim, khususnya puasa Ramadhan yang telah lewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah dalam nash yang jelas. Sebagian ulama’ berpengaruh di Saudi, pendapat al-Sya’rawi dan terutama Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama’ Saudi Arabia sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pun senada, bahwa wanita boleh meminum obat-obatan untuk mencegah datangnya haid dengan syarat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar-pakar medis dan dokter bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan atau organ reproduksinya. Namun sebaliknya, hal itu dihindari karena Allah telah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa kepada wanita yang sedang haid dan menggantinya pada hai-hai lain. Hal itu lebih sesuai dengan ajaran Islam dan tidak beresiko bagi kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar